Menteri Pendidikan Tunda Penerapan Aturan Penerimaan BOS sampai Tahun 2022

- 9 September 2021, 14:09 WIB
Pembelajaran tatap muka dirasa sangat penting bagi setiap yang terlibat. Tanpa terkecuali Nadiem Makarim yang mengomentari hal ini.
Pembelajaran tatap muka dirasa sangat penting bagi setiap yang terlibat. Tanpa terkecuali Nadiem Makarim yang mengomentari hal ini. /Pikiran Rakyat Bogor/Bayu Nurullah

SUKOHARJOUPDATE - Besarnya dampak ekonomi yang ditimbulkan akibat pandemi Covid 19, Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi Nadiem Makarim, tidak akan buru-buru menerapkan syarat minimum 60 murid untuk penyaluran Dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) reguler 2021-2022.

"Memang hari ini pandemi melan­dai, tapi kerusakan ekonomi baru bisa pulih dalam 2-3 tahun sehingga kondisi ini berdampak terhadap masya­rakat kita," tuturnya.

Penundaan tersebut didukung oleh anggota Komisi X DPR dari Fraksi PDIP, Sofyan Tan. Bahkan kalau bisa, persyaratan itu ditangguhkan sampai 2024.

Baca Juga: Cari Penyebab Banjir di Kota Bandung, Malah Temukan Tempat Tinggal didalam Gorong-gorong

Nadiem akan mengkaji ­kembali peraturan itu. Hal itu dia sampaikan dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR, Rabu 8 September 2021, seperti dikutip Sukoharjoupdate.com dari laman Pikiran-rakyat.com.

Menurut Nadiem, dasar pengkajian berangkat dari besarnya dampak pandemi Covid 19. Perlu fleksibilitas dan tenggang rasa ke­pada sekolah yang masih sulit me­la­kukan transisi untuk menjadi sekolah yang skala minimumnya lebih besar.

"Itulah yang ingin kami laku­kan. Kami tidak akan memberla­ku­kan persyaratan ini pada 2022. Semoga ini bisa menenangkan masyarakat," tuturnya.

Baca Juga: Mardani Ali Sera Menyoal Non-nakes Terima Vaksin Ketiga

Hal itu berangkat dari kondisi perbaikan ekonomi yang kemungkinan besar bisa pulih dalam jang­ka waktu 2-3 tahun.

Pada kesempatan terpisah, Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia Heru Purnomo mengata­kan, persyaratan Dana BOS pantas diberlakukan untuk meningkatkan kinerja sekolah, khususnya swas­­ta.

Syarat minimum 60 siswa dalam penyaluran Dana BOS dipandang memiliki niat baik, yakni me­macu kinerja sekolah sekaligus me­nge­lola sekolah-sekolah agar bisa sehat.

Baca Juga: Menko Polhukam Ingatkan Tommy Soeharto Segera Bayar Hutang

Bagi sekolah-sekolah yang berada di lokasi (ter­depan, terluar, tertinggal (3T) dan kuota muridnya tak me­me­nuhi syarat, Heru menilai perlu ada opsi BOS lain yang bisa digunakan.

Misalnya, BOS Afirmasi dan BOS Kinerja. Bila peme­rintah tak memberla­kukan per­syaratan ini, Heru menilai, langkah tersebut bisa jadi tak mendidik agar sekolah tersebut ber­ju­ang, men­a­rik simpati masy­a­rakat se­hing­­ga bisa menerima murid dengan lebih banyak lagi.

"Apabila pengelola pendi­dikan berbasis masyarakat be­kerja keras memajukan se­kolah dan berhasil merebut hati serta meyakinkan orang tua, maka jumlah minimal peserta didik 60 orang tersebut dapat dipenuhi dalam kurun waktu 1-6 tahun. Jadi si­lahkan pihak sekolah swasta berkompetisi memenuhi target jumlah minimum siswa se­suai ketentuan pemerintah," katanya.

Baca Juga: Kominfo Blokir 2,5 juta konten terlarang, Mulai Pornografi Hingga Radikalisme

Sulit merger

Sekjen Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Ja­wa Barat Maman Sulaeman mengapresiasi langkah Nadiem yang memastikan tidak akan memberlakukan Pasal 3 Ayat (2) huruf d pada Per­men Nomor 6 Tahun 2021 tentang Petunjuk Teknis Pe­ngelolaan Dana BOS Reguler.

Maman berharap pasal tersebut direvisi atau dihilangkan, untuk menjamin terselenggaranya pendidikan hingga ke wilayah terpencil.

Disebutkan Maman, sesuai amanat UUD 1945, sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan umum dan men­cerdaskan kehidupan bang­sa.

Baca Juga: Usai Bikin Gusar Umat Islam, Akhirnya Muhammad Kece Ditangkap Polisi di Bali

Dengan kata lain, pen­di­dik­an merupakan hak prero­gatif pemerintah sehingga ha­rus dilaksanakan sebaik-baik­nya.

"Dengan terbitnya peratur­an menteri yang membatasi sekolah itu, kami menilai bah­wa ini jelas belum waktunya. Apalagi pendidikan itu tidak hanya terselenggara di kota, namun juga di desa-desa hingga ke tempat pelosok," kata Maman.

Sekolah-sekolah yang ter­dapat di daerah terpencil misalnya di Cianjur selatan, Suka­bumi selatan, atau Garut selatan, masih banyak sekolah yang memiliki murid di bawah 60 orang.

Baca Juga: Luhut : Indonesia Tidak Bego-bego Amat Menangani Covid 19

Hal itu merupakan suatu hal yang wajar, karena kepadatan penduduk rendah dan jarak sekolah berjauhan sehingga sulit dimerger.

"Kalau lihatnya hanya di kota, kondisi itu (se­kolah yang memiliki kurang dari 60 siswa) tidak ada, tapi kalau sampai di pelosok di daerah banyak. Kalau permen itu diberlakukan tahun-tahun mendatang, apa­­­­­kah pendidikan di sana akan dibiarkan tidak karuan karena tidak mendapatkan bantuan dari pemerintah baik bangunan sekolah maupun biaya operasionalnya?" ujar­nya.

Maman berpendapat, me­minta bayaran tinggi di sekolah terpencil akan sangat ti­dak bijak. Begitu pula dengan meminta kesediaan masya­ra­kat untuk ikut membiayai ope­­rasional sekolah, apalagi ka­rena laju perekonomian di desa tidak sebaik di kota besar.

Baca Juga: Efektif Tekan Mobilitas Ganjil Genap Diperpanjang Selama PPKM Level 3, Dikurangi Tiga Titik

Di Bandung, sekolah de­ngan jumlah siswa kurang dari 60 orang tercatat ada 20 sekolah dan merupakan itu sekolah swasta. Sekolah-sekolah tersebut masih menerima Dana BOS.

Mutu baik

Sekretaris Dinas Pendidik­an Kota Bandung Cucu Sa­put­ra mengatakan, ada bebe­rapa faktor sekolah memiliki siswa kurang dari 60 orang. Salah satunya, sekolah tidak bisa meningkatkan mutu pen­didikan sehingga kalah bersaing dengan sekolah lain.

"Justru terbalik, sekarang sekolah yang kekurangan sis­w­a berada di kota, bukan di pelosok. Di ­kota terlalu banyak pesaing," ucap Cucu.

Baca Juga: Senyap, 214 Napi Korupsi dapat Remisi Didukung KPK

Seiring dengan sistem zo­nasi pada penerimaan peserta didik baru (PPDB), masya­ra­kat kini berpikir untuk men­cari sekolah terdekat yang mu­tunya baik. Hal itu juga membuat persaingan antarsekolah semakin ketat.

Selain itu, kondisi demo­­g­rafi setempat telah berubah. Sebagian besar warga di sekitar sekolah telah beranjak dewasa sehingga tak ada lagi warga usia sekolah.

Dia berharap dengan ada­nya Permendikbudristek itu, sekolah yang kekurangan sis­wa bisa lebih mudah ditertib­kan.

Baca Juga: Tommy Soeharto dan Ronny Hendrarto Ronowicaksono Dipanggil Satgas BLBI, Urusan Utang Rp2,6 Triliun

Sekolah-sekolah bisa di­merger kemudian dibina agar bisa meningkatkan mutu pen­didikan. Disdik Kota Bandung pun menunggu arahan dari pemerintah pusat tentang langkah yang harus diambil untuk sekolah yang sis­wanya di bawah 60 orang.

Selama ini, pener­tiban belum dilakukan oleh Disdik Kota Bandung karena alasan humanisme.

Kebijakan

Pengamat hukum ketata­ne­garaan Universitas Parah­yangan Asep Warlan menyebut, kebijakan atau per­aturan perundang-undangan dapat ditunda keberlakuannya karena pertimbangan kemanfaatan.

Baca Juga: Bupati Banjarnegara Budhi Sarwono Minta Maaf ke Luhut

Peratur­an dibuat tidak hanya untuk keadilan, tapi juga kebermanfaatan atau kemaslahatan.
Namun, ada baiknya, pemerintah juga menjelaskan penundaan itu d­a­lam bentuk kajian.

Misalnya tentang BOS, ada kajian bahwa sekolah sangat membutuhkannya ter­utama pada masa pandemi.

Apalagi sekolah swasta yang dipastikan mengalami kesulitan keuang­an pada masa pandemi akan tertolong dengan adanya Dana BOS.

Baca Juga: AHY Minta Pemerintah Tak Labeli Pengkritik Anti Merah Putih

"Boleh ditunda keberlaku­an­nya karena ada substansi yang tidak diterima oleh publik. Ini tidak bisa disebut Kementerian Pendidikan me­langgar aturan yang telah dia buat," ucapnya.

Kendati demikian, peme­rintah harus konsisten de­ngan aturan yang dia buat. Penundaan ini sebetulnya ada dalam ketentuan peralihan yang disebut dengan hukum antarwaktu.

Asep mengatakan, harus dijelaskan penundaan itu akan berlangsung berapa lama. Selain itu dijelaskan juga selama penundaan apa yang akan dilakukan.

Baca Juga: Tok! Presiden Jokowi Perpanjang PPKM Hingga 30 Agustus 2021

Terkait BOS, Asep menyebut, setelah penundaan da­lam waktu tertentu, peme­rin­tah dapat mengambil lang­kah dari tiga pilihan yang ada.

Pertama, men­ca­but pasal tersebut ka­rena ter­nyata tidak di­temukan adanya keman­fa­at­an. Pencabutannya mela­lui peraturan menteri juga.

Kedua, adanya kajian pene­rapan atau executive review untuk mengkaji dampaknya. Namun, pada proses ini, atur­an tersebut harus diberlaku­kan agar tahu dampaknya se­perti apa.

Proses ini disebut juga regulatory impact assesment (RIA).***(Dewiyatini, Muhammad Ashari, Rani Ummi Fadila, Endah Asih/Pikiran-rakyat.com)

Berita ini telah tayang sebelumnya di Pikiran-rakyat.com dengan judul "Nadiem Makarim Tunda Aturan Baru BOS, Pandemi Covid-19 Jadi Alasan"

Editor: Triyanto

Sumber: Pikiran Rakyat


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah