Selain itu, pemerintah juga semakin banyak tanggungan utang pembangunan kepada China yang disertai peningkatan bunga karena proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung terus berlanjut.
Namun, jika Kereta Cepat Jakarta-Bandung tidak dilanjutkan maka bisa berdampak pada mangkraknya pembangunan yang berpotensi secara hukum karena menyebabkan kerugian besar hingga triliunan rupiah.
Dalam pilihan simalakama ini, proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung sedang terjebak dalam ‘Sunk Cost Fallacy' atau kesalahan dalam pembiayaan yang hangus dan tidak dapat dijadikan investasi dalam sebuah proyek.
Sunk Cost Fallacy juga bisa menyebabkan kerugian besar tapi proyek yang dijalankan tidak bisa dihentikan karena negara telah mengeluarkan biaya untuk pembangunan kereta cepat ini.
Dalam mempertimbangkan solusinya, Indonesia justru membuat wacana untuk menghapus rute kereta api reguler Argo parahyangan dari Jakarta ke Bandung yang harganya lebih murah meskipun menjadi kendaraan yang lambat.
Indonesia akhirnya mengatasi pembengkakan dana dengan cara menutup setoran ekuitas 25% dengan pinjaman utang 75% agar Kereta Cepat Jakarta-Bandung tidak mangkrak.
Kolaborasi Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) yang terdiri dari beberapa perusahaan akhirnya membuat putusan pada 60% pinjaman ditanggung Indonesia dan sisanya milik China yang dirupakan saham.