Mengenang Perang Brandalan di Magelang dan Sekitarnya

- 2 Juli 2022, 09:12 WIB
Pangeran Diponegoro.
Pangeran Diponegoro. /instagram @museum_diponegoro/

BERITASUKOHARJO.com - Perang Brandalan. Istilah ini pasti masih asing buat sebagian besar orang. Kapan dan di mana perang Brandalan terjadi?

Perang Brandalan adalah nama lain dari perang Diponegoro atau Java War dalam bahasa Inggris.

Nama perang Brandalan dipakai di kawasan Magelang dan sekitarnya. Istilah itu dipakai secara informal dan lisan. Cerita perang Brandalan diturunkan dari generasi ke generasi secara lisan. Biasanya cerita itu beredar di kalangan keluarga keturunan laskar Diponegoro.

Baca Juga: Ketahui! Ini Prakiraan Cuaca di Wilayah Jawa Tengah Terbaru, Sabtu 02 Juli 2022

Di kota Magelang dan kabupaten Magelang banyak sekali warga yang masih keturunan laskar Diponegoro. Karena dulu Diponegoro ditangkap oleh pemerintah kolonial Belanda di kota Magelang.

Setelah dia kalah pasukannya banyak yang menetap di kota Magelang dan sekitarnya atau yang sekarang masuk kabupaten Magelang.

Diponegoro adalah nama yang sudah sangat akrab untuk orang Indonesia. Tapi pasti banyak orang belum paham sejarah Pangeran Diponegoro dengan lengkap. Diponegoro adalah pahlawan yang melawan kezaliman penjajah di abad ke-19.

Ontowiryo adalah namanya di masa muda. Dia adalah putra Sultan Hamengku Buwono III dari keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Setelah dewasa dia tinggal di kawasan Tegalrejo, di sisi utara Yogyakarta. Meskipun bukan raja pengaruhnya di kEraton sangat besar.

Baca Juga: Juli 2022, Hari Libur Nasional Ada Berapa Banyak? Yuk, Simak Penjelasan Berikut!

Karena raja yang berkuasa saat itu masih belum dewasa. Pandangan politiknya tidak sejalan dengan penguasa kolonial Belanda. Maka dia dipandang sebagai kendala oleh pemerintah kolonial Belanda saat itu. Oleh karena itu mereka mencari akal untuk menyingkirkannya.

Dilansir BeritaSukoharjo.com dari berbagai sumber, suatu hari Belanda membangun jalan kereta api yang memotong tanah milik Diponegoro. Akibatnya terjadi ketegangan dan meletus menjadi tindakan kekerasan.

Itulah pemicu perang selain karena kezaliman penjajah. Maka sejak tahun 1825 pecahlah perang yang berlangsung di kawasan Yogyakarta dan Jawa Tengah.

Awalnya Diponegoro mendapat dukungan kuat dari banyak pihak. Tapi setelah lima tahun posisi Diponegoro makin melemah.

Baca Juga: Alexandra Daddario Resmi Menikah dengan Pria Berusia 53 Tahun Ini

Pada tahun 1830 Belanda mengundang Diponegoro berunding di Magelang. Perundingan itu dilaksanakan di dalam kota Magelang. Tepatnya di kantor karesidenan Kedu.

Tapi ternyata penguasa kolonial Belanda memang licik. Diponegoro ditangkap lalu dibawa ke Batavia dan dipindahkan ke Sulawesi sampai akhir hayatnya.

Gedung tempat perundingan Diponegoro dengan Belanda itu sampai sekarang masih ada dan terawat baik. Namanya sekarang adalah museum BPK. Masyarakat Magelang menyebutnya secara informal sebagai kantor karesidenan.

Gedung itu sangat luas. Pelatarannya juga sangat luas. Pemandangannya juga sangat asri. Dari halaman depan tampak pemandangan sawah ladang dan di kejauhan terlihat gunung Sumbing yang cantik.

Baca Juga: Ramai Gaji ke-13 Cair, Bagaimana Nasib Pejuang Honorer? Dapat atau Tidak? Ini Penjelasannya

Di bagian depan gedung itu ada sebuah kamar yang menyimpan benda benda yang berhubungan dengan Diponegoro. Kursi yang dipakai berunding masih ada. Demikian juga jubah putihnya yang sering ditampilkan di lukisan.

Jubah putih itu sekarang disimpan di sebuah lemari kaca. Ukurannya besar. Jadi badan sang pangeran tinggi besar kalau melihat ukuran jubahnya.

Tapi tunggu dulu. Ada istilah residen? Apa pula itu? Residen adalah nama sebuah jabatan di masa pemerintahan kolonial. Seorang residen membawahi beberapa bupati.

Karesidenan Kedu yang berpusat di Magelang memiliki wilayah kabupaten Magelang, Purworejo, Temanggung dll. Tapi sekarang karesidenan sudah dihapus.

Baca Juga: Gokil! Raisa dan Anya Geraldine vs Hesti dan Ericarl akan Tanding Bulutangkis di Tepok Bulu '22, Dukung Siapa?

Nah setelah sang pangeran ditangkap itu pihak Belanda lalu meneruskan pembersihan kepada pengikutnya. Menurut penuturan para sesepuh dulu ada pembantaian.

Pasukan Diponegoro yang kalah dibunuh. Mereka dipenggal kepalanya. Lalu kepala itu ditancapkan di bambu yang ditaruh di pinggir jalan. Desa tempat menaruh itu sekarang bernama desa Sindas.

Ndas dalam bahasa Jawa artinya kepala. Ada desa Nggeger yang konon berasal dari kata Geger. Artinya punggung. Konon dulu dipakai untuk mengubur badan korban perang tadi. 

Itulah sekilas kenangan tentang perang Brandalan di Magelang dan sekitarnya.***

Editor: Inung R Sulistyo


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x