Spesial Hari Film Nasional: Biografi Usmar Ismail, Bapak Perfilman Indonesia

- 31 Maret 2023, 11:01 WIB
Usmar Ismail, Bapak Perfilman Indonesia
Usmar Ismail, Bapak Perfilman Indonesia /dok. BPI

BERITASUKOHARJO.com – Tanggal 30 Maret telah diperingati sebagai perayaan Hari Film Nasional.

Hari tersebut merupakan sebuah peringatan terhadap awal mula puncak kejayaan film di Indonesia. Bicara tentang hari tersebut, ada salah tokoh yang paling berpengaruh yaitu Usmar Ismail.

Usmar Ismail merupakan salah satu tokoh yang dijuluki sebagai Bapak Perfilman Indonesia. Dia lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat, 20 Maret 1921, dan meninggal pada tanggal 2 Januari 1971 di Jakarta.

Baca Juga: 11 Adab Berdoa Sesuai Ajaran Rasulullah yang Harus Kamu Ketahui dan Lakukan, Sudahkah Kamu Melakukannya?

Dilansir BeritaSukoharjo.com dari berbagai sumber, ia pernah menempuh pendidikan HIS, MULO B, AMS-A II sampai tahun 1941. Selain itu, Usmar Ismail pernah meraih gelar sebagai Sarjana Muda Jurusan film di UCLA (University of California in Los Angeles) pada tahun 1953.

Sepak terjang kariernya berawal saat ia menjadi seorang penyair. Pada tahun 1948, Usmar Ismail pernah menerbitkan sajak yang berjudul Puntung Berasap dan naskah sandiwara yaitu Sedih dan Gembira. 

Memasuki masa pendudukan Jepang, ia menjabat sebagai wakil kepala bagian Drama di sebuah pusat Kebudayaan.

Baca Juga: 5 Rekomendasi Kuliner di Pasar Gede Solo, Khas Surakarta, yang Enak dan Harganya Ekonomis

Saat itulah, dia bersama kakaknya, Dr. Abu Hanifah, beserta seniman lainnya mendirikan komunitas sandiwara yang bernama “Maya”.

Pada masa revolusi, Usmar Ismail pernah menjadi tentara dengan pangkat Mayor dan bertugas di ibukota RI saat itu, Yogyakarta.

Selama di Yogyakarta, ketertarikannya terhadap dunia film kian berkembang semenjak menjadi ketua Badan Musyawarah Kebudayaan Indonesia, Serikat Artis Sandiwara dan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia).

Baca Juga: Jadwal Imsakiyah dan Buka Puasa Hari ini 9 Ramadhan 1444 H di Kota Medan, Sumatera Utara

Pada tahun 1948, dia ditangkap oleh Belanda saat menjadi seorang jurnalis yang meliput perundingan RI-Belanda di Jakarta.

Selama penahanan, Usmar Ismail dipekerjakan di sebuah studio milik Belanda dan menerbitkan 2 film, yaitu Harta Karun dan Tjitra.

Ketika memasuki akhir tahun 1949, dia berhenti dari karier tentaranya. Dia bersama teman-teman senimannya yang merupakan eks anggota ‘Maya’ mulai berencana mendirikan perusahaan perfilman.

Baca Juga: Jadwal Imsakiyah dan Buka Puasa Hari ini 9 Ramadhan 1444 H di Kota Medan, Sumatera Utara

Pada Maret 1950, Usmar Ismail resmi mendirikan PERFINI (Perusahaan Film Nasional Indonesia) merupakan sebuah lembaga perfilman pertama di Indonesia. Film yang pertama kali diproduksi ialah yang berjudul Darah dan Doa.

Film tersebut mendapat sambutan baik bagi para kritikus film. Lantaran kesuksesan film tersebut, dari situlah awal mula penetapan 30 Maret sebagai Hari Film Nasional. Tanggal tersebut merupakan awal pembuatan film pertama dari PERFINI.

Bagi Usmar Ismail, sebuah film tidak harus bersifat komersial, tapi juga merupakan karya seni yang bebas dan mampu mencerminkan kepribadian nasional. 

Baca Juga: 10 Pemain Ini akan Memenangkan Penghargaan Ballon d'Or Jika Ronaldo dan Messi Tidak Ada, Adakah Idolamu?

Tak heran, ia menyisipkan sindiran terhadap kondisi saat itu, baik dari segi politik maupun kehidupan sosial.

Setelah kesuksesan film pertama, dia menerbitkan film-film lainnya, salah satunya ialah Lewat Djam Malam (1954).

Meskipun ia selalu mempertahankan mutu film yang diproduksinya, tapi masih saja sedikit peminatnya. Hal itulah yang membuat PERFINI perlahan di ambang kebangkrutan.

Baca Juga: MASIH TERSEDIA! Informasi Mudik Gratis Pemprov Banten 2023, Simak Syarat, Cara Daftar, Link, dan Lokasi Tujuan

Untuk mengatasi hal tersebut, ia memproduksi film hiburan secara komersial, seperti Tiga Dara (1956), Delapan Pendjuru Angin (1957), dan Asmara Dara (1958).

Namun, bukan sambutan baik yang didapat, melainkan cercaan kalangan komunis sebagai pengkhianat bangsa dan antek Amerika.

Meskipun begitu, ia tetap konsisten memproduksi filmnya hingga ada salah satu film yang yang sukses mendapatkan penghargaan dalam Festival Film Internasional Moskow tahun 1961 yang berjudul Pedjoeang (1960). Namun, kesuksesan film tersebut belum mampu menutupi hutang PERFINI.

Baca Juga: Prediksi Negara Pilihan yang akan Menggantikan Indonesia Menjadi Tuan Rumah U-20 2023 Setelah Dihapus FIFA

Pada tahun 1962, ia bersama Asrul Sani mendirikan LESBUMI (Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia) dalam organisasi NU dan menjabat sebagai ketua umum.

Kedekatannya bersama NU tak lepas dengan kerjasamanya dengan Djamaludin Malik, seorang produser dan tokoh NU yang mendirikan PPFI pada tahun 1954. Mewakili NU, ia menjabat sebagai anggota DPR-RI periode 1966–1969.

Pada tahun 1962, Usmar Ismail mendapatkan penghargaan di bidang kebudayaan, yaitu “Widjajakusuma” dari Presiden Ir. Soekarno.

Baca Juga: Berpotensi Sanksi, Akankah Timnas Indonesia Masih Tetap Menjadi Peserta Piala Dunia U-20 2023 oleh FIFA?

Pada tanggal 2 Januari 1971, ia meninggal dunia karena stroke. Film Ananda (1970) menjadi film terakhir yang ia sutradarai.

Meskipun ia sudah tiada, jasa-jasanya begitu berharga pada perkembangan sejarah film Indonesia. Oleh karena itulah, dia dijuluki sebagai Bapak Perfilman Nasional.

Sejak tahun 1975, nama Usmar Ismail diabadikan sebagai tempat pusat perfilman yang didirikan oleh Pemda DKI bersama masyarakat perfilman.***

Editor: Nurulfitriana Ramadhani


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x