Menengok Kadigjayaan Surban Dibalik Petilasan

- 5 Maret 2022, 09:36 WIB
Padepokan Ajisaka
Padepokan Ajisaka /Sukoharjoupdate/Herry Honggo

SUKOHARJOUPDATE - Dewata Cengkar, penguasa Kerajaan Medangkamulan dikenal sebagai raja yang bengis, jahat dan pemangsa manusia.

Kendati demikian tetap saja bisa dikalahkan oleh Ajisaka hanya dengan Surban, berkekuatan pilih tanding. Ibarat diatas lagit, masih ada langit.

Lalu, bagaimana kisah terbunuhnya Dewata Cengkar di tangan Ajisaka ? diceritakan, kebengisan dan kejahatan Dewata Cengkar itu, membuat takut prajurit dan warga yang tinggal disekitar Kerajaan Medangkemulan.

Baca Juga: Ruang Oven Diduga Terpercik Api, Pabrik Triplek di Baki Sukoharjo Hangus Terbakar

Pasalnya, setiap hari prajuritnya harus menyediakan makanan kesukaan Dewata Cengkar, berupa daging manusia untuk kepuasan isi perutnya.

Saking takutnya, sehingga setiap prajurit dan warga pedesaan terpaksa saling intip dan menjauhi.

Mereka was-was dijadikan santapan Dewata Cengkar. Kabar kekejaman Dewata Cengkar ini juga didengar Ajisaka, seorang pertapa.

Baca Juga: Bola Panas Wacana Pemilu 2024 Ditunda Panen Penolakan, Pemerintah Diminta Taat Konstitusi

Maka Ajisaka tidak pikir panjang lagi beranjak dari tempat pertapaanya dan bergegas menuju Kerajaan Medangkamulan untuk menumpas Sang Raja kejam itu.

Namun dia tidak sendirian, tapi dikawal dua pengikut setianya Dora dan Sembada. Ditengah perjalanan, Ajisaka menghentikan langkahnya, untuk menyuruh Sembada menunggu ditempat ini saja, sambil menjaga pusaka yang dititipkan.

Dengan pesan, jangan sampai pusaka berupa keris itu diberikan kepada siapapun, jika bukan dia sendiri yang mengambilnya.

Baca Juga: Klaten Diguyur Hujan Deras, Jembatan Penghubung Desa Karangan dan Kadirejo Terputus, Lalu Lintas Dialihkan

Sementara Dora tetap diajak dan mengikutinya menuju Kerajaan Medangkamulan, Singkat kisah, Dewata Cengkar ditantang Ajisaka untuk adu kesaktian.

Dengan senang hati Dewata Cengkar menerima tantangan itu, sembari sesumbar akan memenuhi permintaan terakhir Ajisaka sebelum mati dan menjadi santapannya.

“Ajisaka minta, agar Dewata Cengkar bersedia memenuhi Surbannya dengan tanah, sambil melepas dari kepalanya” ujar Suhardi, penunggu Candi Untoroyono, petilasan pertapaan Ajisaka itu sambil menambahkan, begitu kain surban itu digelar dit anah, Dewata Cengkar mulai mengisi tanah diatas surban yang terus melebar, namun Sang Raja bengis itu tidak sadar, dengan cara berjalan mundur, terus saja berusaha mengisinya dengan tanah.

Baca Juga: Bupati Sukoharjo Buka Diklat Wasbang, Optimalkan Pengembangan dan Nilai Nilai Kebangsaan

Terus…terus mundur hingga masuk Laut Kidul yang sedang pasang. Akhirnya Dewata Cengkar mati digulung ombah Pantai Selatan dan berubah wujud menjadi buaya putih.

Sejak itu kerajaan Medang Kamulan dikuasi Ajisaka dan merubah keadaan menjadi tata titi tentrem, kerta raharja, gemah ripah loh jinawi. Beberapa saat kemudian Ajisaka ingat, kalau masih meninggalkan Sembodo disuatu tempat.

Maka dari itu, dia menyuruh Dora menjemputnya dan mengambil pusaka yang dititipkan Sembodo. Keduanya sama-sama menjadi pengikut setia Ajisaka, sehingga pantang untuk mengingkari janjinya.

Baca Juga: Rencana Pembangunan Klinik Rawat Inap Jadi Pro Kontra, DPRD Sukoharjo Minta Warga Penolak Pahami Regulasi

Akhirnya mereka berkelahi sampai mati.Dengan terjadinya peristiwa itu, Ajisaka berduka kehilangan kedua pengikut setianya Dora dan Sembodo.

Untuk mengenang keduanya, Ajisaka mengabdikannya dengan menciptakan abjad Huruf Jawa. ‘ Ha Na Ca Ra Ka (ada perintah), Da Ta Sa Wa La (terjadi pertengkaran), Pa Da Ja Ya Nya (sama-sama saktinya), Ma Ga Ba Tha Nga (keduanya menjadi mayat).

"Ya, di Dukuh Nayan, Desa Kalangan, Kecamatan Pedan, Kabupaten Klaten ini Ajisaka bertapa” terang Suhardi sambil menunjukan Candi Untoroyono.***

Editor: Bramantyo


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah